Meriah, Sedekah Bumi 2023 Tradisi Jembul Banyumanis Donorojo Jepara Digelar


 

DONOROJO – Tradisi Jembul Banyumanis digelar oleh masyarakat di lereng gunung Jepara Utara sarat dengan sejarah panjang. Jadi, tradisi ini tak asal diselenggarakan begitu saja secara spontan

Masyarakat Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, memiliki tradisi khas dalam merayakan sedekah bumi sekaligus hari jadi desa. Yakni, sebuah tradisi yang dinamakan Jembul Banyumanis. Sekitar sepuluh ribu orang hadir di sekitar rumah Petinggi Desa Banyumanis, Kamis (15/6/2023) pagi. Mereka menantikan kedatangan jembul yang diarak dari masing-masing dukuh. Tahun ini, ada tiga pasang jembul yang disajikan. 


Petinggi Desa Banyumanis Subandrio menyebutkan, Jembul Banyumanis sudah menjadi tradisi sejak 100 tahun lebih. Tradis ini selalu digelar tepat hari Kamis Pahing pada bulan Apit dalam kalender Jawa atau bulan Dzulqodah dalam kalender Hijriah.


Secara bentuk, Jembul Banyumanis mirip dengan Jembul Tulakan. Bedanya hanya pada rentetan sejarahnya.

Jembul Banyumanis adalah gunungan yang terbuat dari bambu yang disayat tipis lalu dibentuk seperti rambut keriting. 

Kemudian, bambu tersebut dipasangi sobekan-sobekan kain beragam warna. Masing-masing kelompok membawa jembul perempuan dan jembul laki-laki. 

Jembul perempuan hanya dipikul empat orang. Sedangkan jembul laki-laki dipikul lebih dari sepuluh orang. Iring-iringan rombongan dipimpin kaum ibu yang membawa hasil bumi dalam bakul. 


Sedangkan kaum laki-laki ikut memikul dan mengendalikan laju jembul. Yang paling menyita perhatian adalah jembul laki-laki. Para pemikul seringkali mengarahkan ke arah penonton. 

Pada saat yang sama, penonton berhamburan menyelamatkan diri. Mendekati halaman rumah petinggi, suasana semakin memanas. Kelompok pembawa jembul seperti dihadang kelompok lain. Jembul lalu sengaja ditabrakkan ke arah berlawanan. Saat bersamaan, terjadilah kericuhan. 

Dalam lingkaran yang penuh sesak manusia itu, mereka saling memukul seperti orang tawuran. Melihat situasi semakin tak terkendali, pihak aparat langsung melerai. 


Uniknya, selepas tawuran masing-masing pihak tidak memperpanjang emosi mereka. Mereka justru mengangkat tangan sambil bergoyang mengikuti iringan lagu-lagu Jawa yang dinyanyikan dua sinden dari atas panggung. 

Butuh waktu ekstra untuk menempatkan jembul di tempat yang sudah disediakan. Sebab, para pemikul sengaja menarik maju mundur ketika sudah berada di depan rumah petinggi. Saat jembul sudah mendarat, seluruh orang bersorak-sorai. Tiga pasang jembul yang dijajar itu berisi hasil bumi dan olahannya. Seperti singkong, tape ketan, gemblong dan jajanan-jajanan tradisional lainnya. 


”Ini adalah wujud rasa syukur masyarakat Desa Banyumanis dalam sedekah bumi yang digelar setiap tahun,” kata Petinggi Desa Banyumanis Subandrio. 

Dia menyampaikan, tradisi Jembul Banyumanis ini bersamaan dengan hari jadi desa setiap tahunnya. Kali ini, Desa Banyumanis berusia 112 tahun. Tak seperti tahun-tahun yang lalu, kata Subandrio, tahun ini disajikan gunungan hasil bumi. 

Masyarakat desa membawa gunungan tersebut sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang selama setahun ini dirasakan. ”Hasil bumi ini menandakan Desa Banyumanis ’Gemah Ripah Loh Jinawi’. Tanahnya subur, masyarakatnya makmur,” lanjutnya.


Kalau Jembul Tulakan mengisahkan perayaan kemenangan Ratu Kalinyamat atas kematian Arya Penangsang. Hampir mirip, Jembul Banyumanis menceritakan tentang ungkapan kegembiraan Suto Mangunjoyo atas kemenangan Ratu Kalinyamat tersebut.


Subandrio mengungkapkan, Suto Mangunjoyo adalah sesepuh yang menjadi cikal bakal terbukanya hutan, yang kelak kemudian menjadi Desa Banyumanis. Suto Mangunjoyo disinyalir salah satu tokoh yang memiliki kedekatan dengan Ratu Kalinyamat.

”Versi cerita lama, Mbah Suto ini bawahan Ratu Kalinyamat,” jelas Subandrio.

Oleh Ratu Kalinyamat, Mbah Suto diberikan kewenangan untuk membuka kehidupan di Banyumanis. Setelah wilayah Banyumanis dihuni banyak orang, kemudian Mbah Suto menginisiasi untuk menjalankan tradisi Jembul sebagai pengingat kepada perjuangan Ratu Kalinyamat.


Lambat laun, masyarakat menjadikan tradisi itu sebagai puncak acara sedekah bumi. Ada berbagai acara yang digelar. Yang paling sakral selain arak-arakan Jembul, yaitu arak-arakan pusaka berupa tombak milik Mbah Suto.


Saat arak-arakan Jembul, masyarakat berbondong-bondong membawa hasil bumi mereka. Mereka menari-menari penuh kegembiraan dan persatuan.


”Tradisi ini sebagai ungkapan syukur dan melestarikan nilai-nilai yang diwariskan leluhur,” pungkasnya.


[ EDY PUTRA ]


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama